Kisah Jibril Menyumpal Mulut Firaun
Syekh Nawawi al-Bantani lahir di Tanara Banten tahun 1813. Beliau adalah ulama karismatik dan mahaguru ulama Jawa pada abad 19.
Disamping muridnya yang banyak, karya-karyanya juga banyak. Syekh Nawawi bernama Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Sejak kecil mempelajari ilmu agama dengan tekun.
Kemudian melanjutkan nyantri kepada Kiai Yusuf seorang ulama besar di Purwakarta. Menginjak usia 15 tahun bersama dua orang saudaranya pergi ke Tanah Suci untuk berhaji. Namun kemudian Nawawi muda tidak pulang tetapi menuntut ilmu.
Syekh Nawawi kemudian berguru kepada Imam Masjid al-Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Syekh Ahmad Dimyati. Selain itu tercatat nama Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani sebagai gurunya.
Tekun dan cerdas menjadikan Nawawi murid yang terpandang di Masjid al-Haram. Tak salah kalau Ahmad Khatib Sambas uzur menunjuk Nawawi sebagai menggantikannya menjadi Imam Masjid al-Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi.
Syekh Nawawi juga dikenal seorang pendidik yang ulung. Banyak muridnya menjadi ulama mumpuni seperti KH Kholil Bangkalan, KH Asnawi Kudus, KH Tubagus Bakri, KH Arsyad Thawil dari Banten, dan KH Hasyim Asy’ari dari Jombang. Muridnya tidak hanya dari Indonesia melainkan dari berbagai belahan dunia.
Kecemerlangan syekn Nawawi bertambah ketika beliau dikenal sebagai penulis yang produktif. Dalam buku Dictionary of Arabic Printed Books disebutkan ada 34 karya. Sedangkan beberapa orang menyebutnya karyanya lebih 100 judul buku. Diantara karyanya yang terkenal adalah Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, dan al-Aqdhu Tsamin.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, pada 25 Syawal 1314 H/1879 M.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Al-Qur'an menyajikan kisah para nabi dengan berbagai mukjizat dari Allah SWT. Salah satunya kisah tongkat Nabi Musa AS yang berubah menjadi ular.
Diceritakan dalam Qashash al-Anbiyaa karya Ibnu Katsir, kisah tongkat Nabi Musa AS yang berubah menjadi ular berawal ketika Allah SWT mengutus Nabi Musa AS untuk menghadap Fir'aun, raja Mesir yang menyembah berhala dan menindas Bani Israil. Allah SWT memerintahkan Nabi Musa AS untuk meminta Fir'aun agar melepaskan Bani Israil dari perbudakan mereka.
Ketika Nabi Musa AS menginjak dewasa, ia mendapati perkelahian antara kaum Bani Israil dengan kaum Qibthi, kafir yang menyekutukan Allah SWT dan mendukung Fir'aun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nabi Musa AS memukul lelaki Qibthi tersebut dengan tongkat di tangannya dengan tujuan peringatan dan menakut-nakutinya. Namun, lelaki Qibthi tersebut meninggal. Nabi Musa AS pun ketakutan dengan Fir'aun dan bala tentaranya karena masyarakat mulai membocorkan informasi tersebut ke kalangan istana.
Fir'aun pun mengetahuinya dan mengutus orang untuk mencari dan menangkap Nabi Musa AS. Utusan Fir'aun tersebut memiliki hubungan dekat dengan Nabi Musa AS, sehingga ia memberitahukan Nabi Musa AS untuk segera keluar dari Mesir. Nabi Musa AS pun keluar dari Mesir dan menuju ke Kota Madyan.
Di Kota Madyan, Nabi Musa AS bekerja dan menikah dengan wanita penggembala kambing.
Setelah tugas Nabi Musa AS di Kota Madyan selesai, ia meninggalkan Kota Madyan bersama istrinya menuju Mesir. Di tengah perjalanan, Nabi Musa AS mendapati mukjizat Allah SWT. Allah SWT memerintahkan Nabi Musa AS untuk melemparkan tongkatnya ke tanah dan tongkat Nabi Musa AS tersebut berubah menjadi ular. Allah SWT memerintahkan mengulurkan tangan Nabi Musa AS dan mengambil ekor ular tersebut, ular tersebut berubah menjadi tongkat lagi.
Setibanya di Mesir, Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS (saudaranya) menghadap Fir'aun dan menyampaikan kerasulannya. Mereka juga menyampaikan perintah Allah SWT agar Fir'aun dan kaumnya menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya serta melepaskan tahanan Fir'aun.
Fir'aun justru menyombongkan diri dan berbuat sewenang-wenang. Hingga terjadilah perdebatan antara Fir'aun dengan Nabi Musa AS.
Fir'aun meminta Nabi Musa AS untuk menunjukkan mukjizat Allah SWT. Atas permintaan tersebut, Nabi Musa AS melemparkan tongkatnya dan tongkat Nabi Musa AS berubah menjadi ular raksasa yang sangat menyeramkan dengan mulut menganga mendekati Fir'aun. Fir'aun yang ketakutan lantas memerintahkan Nabi Musa AS menyingkirkan ular tersebut. Kejadian itu sampai membuat Fir'aun harus buang air besar 40 kali dalam sehari.
Kemudian, Nabi Musa AS menunjukkan mukjizat lainnya, yaitu dengan memulihkan keadaan tangannya yang putih bercahaya menjadi normal seperti semula di hadapan Fir'aun.
Nabi Musa AS pun meminta Fir'aun untuk mengumpulkan para penyihir. Ketika para penyihir hadir dan bersiap menghadapi Nabi Musa AS, beliau melemparkan tongkatnya kembali. Tongkat Nabi Musa AS berubah menjadi ular raksasa dan menyedot tongkat serta tali yang menyerupai ular hidup dari para penyihir itu.
Allah SWT telah menghancurkan kesombongan Fir'aun dan para pengikutnya dengan peristiwa yang mencengangkan tersebut.
Fir'aun pun berjanji kepada Nabi Musa AS bahwa dia akan melepaskan Bani Israil. Namun, Fir'aun tidak mau menanggapi dan memenuhi janjinya tersebut. Fir'aun mengatakan bahwa ia akan melepaskan Bani Israil jika Nabi Musa AS berhasil menghentikan wabah dan bencana di kerajaannya. Namun Fir'aun mengingkarinya.
Allah SWT memerintahkan Nabi Musa AS untuk meninggalkan Mesir bersama Bani Israil. Mengetahui hal itu, Fir'aun bersama pasukannya mengejar rombongan Nabi Musa AS.
Ketika akan tiba di lautan, Allah SWT memberikan menurunkan wahyu ke lautan agar membukakan jalan untuk Nabi Musa AS dan pengikutnya.
Setelah tiba di tepi lautan, Nabi Musa AS memukul tongkatnya dan terbukalah lautan hingga menjadi jalan untuk melarikan diri dari kejaran Fir'aun dan pasukannya.
Setelah Nabi Musa AS dan pengikutnya berhasil menyeberangi lautan, Nabi Musa AS pun memukul tongkatnya kembali dan lautan pun kembali menutup jalannya, hingga Fir'aun dan pasukannya binasa karena tenggelam di lautan.
Hikmah dari Kisah Tongkat Nabi Musa Berubah Menjadi Ular
Dikutip dari buku Cerita-cerita Al-Qur'an Penuh Hikmah karya Albi Kustaman dan Anggit Kurniadi, hikmah dari kisah tongkat Nabi Musa AS yang berubah menjadi ular yaitu:
Is your network connection unstable or browser outdated?
Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Nabi Musa Kitab Taurat, dan Kami iringi kemudian daripadanya dengan beberapa orang Rasul, dan Kami berikan kepada Nabi Isa Ibni Maryam beberapa mukjizat serta Kami teguhkan kebenarannya dengan Ruhul-Qudus (Jibril). Maka patutkah, tiap-tiap kali datang kepada kamu seorang Rasul membawa sesuatu (kebenaran) yang tidak disukai oleh hawa nafsu kamu, kamu (dengan) sombong takbur (menolaknya), sehingga sebahagian dari Rasul-rasul itu kamu dustakan, dan sebahagian yang lain pula kamu membunuhnya?
Katakanlah (wahai Muhammad): "Sesiapa memusuhi Jibril maka sebabnya ialah kerana Jibril itu menurunkan Al-Quran ke dalam hatimu dengan izin Allah, yang mengesahkan kebenaran Kitab-kitab yang ada di hadapannya (yang diturunkan sebelumnya), serta menjadi petunjuk dan memberi khabar gembira kepada orang-orang yang beriman".
Sesiapa memusuhi Allah (dengan mengingkari segala petunjuk dan perintahNya) dan memusuhi Malaikat-malaikatNya dan Rasul-rasulNya, khasnya malaikat Jibril dan Mikail, (maka ia akan diseksa oleh Allah) kerana sesungguhnya Allah adalah musuh bagi orang-orang kafir.
Rasul-rasul Kami lebihkan sebahagian daripada mereka atas sebahagian yang lain (dengan kelebihan-kelebihan yang tertentu). Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata dengannya, dan ditinggikanNya (pangkat) sebahagian daripada mereka beberapa darjat kelebihan. Dan Kami berikan Nabi Isa ibni Maryam beberapa keterangan kebenaran (mukjizat), serta Kami kuatkan dia dengan Ruhul-Qudus (Jibril). Dan sekiranya Allah menghendaki nescaya orang-orang yang datang kemudian daripada Rasul-rasul itu tidak berbunuh-bunuhan sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan (yang dibawa oleh Rasul mereka). Tetapi mereka bertelingkah, maka timbulah di antara mereka: orang yang beriman, dan orang yang kafir. Dan kalaulah Allah menghendaki tentulah mereka tidak berbunuh-bunuhan; tetapi Allah melakukan apa yang dikehendakiNya.
(Ingatlah) ketika Allah berfirman: "Wahai Isa ibni Maryam! Kenanglah nikmatKu kepadamu dan kepada ibumu, ketika Aku menguatkanmu dengan Ruhul-Qudus (Jibril), iaitu engkau dapat berkata-kata dengan manusia (semasa engkau masih kecil) dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) ketika Aku mengajarmu menulis membaca, dan hikmat pengetahuan, khasnya Kitab Taurat dan Kitab Injil; dan (ingatlah) ketika engkau jadikan dari tanah seperti bentuk burung dengan izinKu, kemudian engkau tiupkan padanya, lalu menjadilah ia seekor burung dengan izinku; dan (ingatlah ketika) engkau menyembuhkan orang buta dan orang sopak dengan izinku; dan (ingatlah) ketika engkau menghidupkan orang-orang yang mati dengan izinKu; dan (ingatlah) ketika Aku menghalangi Bani Israil daripada membunuhmu, ketika engkau datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat), lalu orang-orang yang kafir di antara mereka berkata: "Bahawa ini hanyalah sihir yang terang nyata"
Katakanlah (wahai Muhammad): Al-Quran itu diturunkan oleh Ruhul Qudus (Jibril) dari Tuhanmu dengan cara yang sungguh layak dan berhikmat, untuk meneguhkan iman orang-orang yang beriman, dan untuk menjadi hidayah petunjuk serta berita yang mengembirakan bagi orang-orang Islam.
Maka Maha Tinggilah Allah, yang Menguasai seluruh alam, lagi Yang Benar (pada segala-galanya). Dan janganlah engkau (wahai Muhammad) tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum selesai dibacakan oleh Jibril kepadamu, dan berdoalah dengan berkata: "Wahai Tuhanku, tambahilah ilmuku".
Ia dibawa turun oleh malaikat Jibril yang amanah.
wahyu itu (disampaikan dan) diajarkan kepadanya oleh (malaikat jibril) yang amat kuat gagah, -
Lalu Allah wahyukan kepada hambaNya (Muhammad, dengan perantaraan malaikat Jibril) apa yang telah diwahyukanNya.
Dan demi sesungguhnya! (Nabi Muhammad) telah melihat (malaikat Jibril, dalam bentuk rupanya yang asal) sekali lagi,
(Nabi Muhammad melihat jibril dalam bentuk rupanya yang asal pada kali ini ialah) semasa " Sidratul Muntaha" itu diliputi oleh makhluk-makhluk dari alam-alam ghaib, yang tidak terhingga.
Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah (wahai isteri-isteri Nabi, maka itulah yang sewajibnya), kerana sesungguhnya hati kamu berdua telah cenderung (kepada perkara yang menyusahkan Nabi); dan jika kamu berdua saling membantu untuk (melakukan sesuatu yang) menyusahkannya, (maka yang demikian itu tidak akan berjaya) kerana sesungguhnya Allah adalah Pembelanya; dan selain dari itu Jibril serta orang-orang yang soleh dari kalangan orang-orang yang beriman dan malaikat-malaikat - juga menjadi penolongnya.
Dan juga (satu misal perbandingan lagi, iaitu): Maryam binti Imran (ibu Nabi Isa seorang perempuan) yang telah memelihara kehormatan dan kesuciannya (dari disentuh oleh lelaki; tetapi oleh sebab Kami telah takdirkan dia mendapat anak) maka Kami perintahkan Jibril meniup masuk ke dalam kandungan tubuhnya dari roh (ciptaan) Kami; dan (sekalipun Maryam itu hidup di antara kaum kafir) ia mengakui kebenaran Kalimah-kalimah Tuhannya serta Kitab-kitabNya; dan ia menjadi dari orang-orang yang tetap taat.
Yang dilalui oleh malaikat-malaikat dan Jibril ke pusat pemerintahanNya (untuk menerima dan menyempurnakan tugas masing-masing, terutama) pada satu masa yang adalah tempohnya (dirasai oleh orang-orang yang bersalah) sungguh panjang, (kerana banyak hitungan hisab dan berat soal jawabnya).
Oleh itu, apabila Kami telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu, dengan perantaraan Jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu;
(Tambahan pula) pada masa Jibril dan malaikat-malaikat yang lain berdiri bersaf-saf (menunggu perintah Tuhan), tidak ada yang berani berkata-kata (memohon pertimbangan) melainkan yang telah diizinkan baginya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah, serta ia berkata benar.
Sebenarnya Al-Quran itu, sungguh-sungguh Kalamullah (yang disampaikan oleh Jibril) Utusan yang mulia,
Dan (Nabi Muhammad yakin bahawa yang disampaikan kepadanya ialah wahyu dari Tuhan, kerana) demi sesungguhnya! Nabi Muhammad telah mengenal dan melihat Jibril di kaki langit yang nyata.
Pada Malam itu, turun malaikat dan Jibril dengan izin Tuhan mereka, kerana membawa segala perkara (yang ditakdirkan berlakunya pada tahun yang berikut);
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Mata, telinga, dan mulut merupakan di antara organ vital bagi manusia. Ketiganya memainkan peran penting bagi manusia dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi, baik vertikal maupun horizontal. Melalui mata, manusia bisa melihat indahnya alam semesta. Melalui telinga, manusia bisa mendengar merdunya suara burung berkicau. Melalui mulut, manusia bisa berbicara dan menyampaikan pesan lisan antar sesama. Bila ketiganya digunakan secara baik, maka akan menghasilkan kebajikan. Namun, bila ketiga atau salah satu organ tersebut digunakan untuk jalan yang salah, maka akan bahaya dan melahirkan malapetaka. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu kepadamu” (QS. Fushshilat : 22).
Meski hal ini disadari secara nyata oleh manusia, namun acapkali ketiga organ ini tidak mampu dijaga dan digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat” (QS. al-Baqarah : 7).
Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa Allah mengunci mati (menutup rapat) hati mereka sehingga tidak dapat dimasuki oleh kebaikan. Begitu pula pendengaran mereka dikunci sehingga tidak memperoleh manfaat dari kebenaran yang mereka terima. Sedangkan penglihatan mereka ditutup sehingga tidak dapat melihat kebenaran. Sungguh, bagi mereka siksa yang pedih lagi tetap (kekal). Hanya mulutnya yang terbuka lebar tanpa “hati, mata, dan telinga”. Akibatnya, mulut (berikut variannya) bebas tanpa saringan.
Pada dimensi i’tibar, ketiga organ tersebut (mata, telinga, dan mulut), menunjuk pada status manusia, yaitu :
Pertama, Mata ; organ yang seyogyanya dimiliki oleh ilmuan (ulama) yang senantiasa menggunakan matanya (zahir dan batin) untuk melihat keagungan Allah. Semua ciptaan-Nya dilihat secara bijak sebagai pengajaran dan ilmu bagi membangun peradaban. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesar-an Allah) bagi orang yang berakal” (QS. Ali Imran : 190).
Atas ayat di atas, Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari, dalam kitab al-Hikam, menjelaskan bahwa : “Seluruh alam semesta adalah kegelapan dan yang menyinari di dalamnya adalah keberadaan Allah SWT. Barang siapa yang melihat alam kemudian tidak melihat-Nya di dalam atau di sisi dunia atau sebelum dan sesudahnya, maka berarti ia telah disilaukan oleh sinar dan terhijab dari matahari ma’rifat karena awan-awan alam.” Demikian dalam makna yang disampaikan Syekh as-Sakandari. Bila kaum intelektual menggunakan mata untuk melihat kebesaran Allah, maka kebenaran akan diperoleh. Namun, bila mata tak lagi digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, maka alam semesta akan tertutup awan hitam kelam kejahilan dan kesesatan.
Bagi ilmuan yang melihat keagungan Allah (QS. al-Ghasiyah : 17-20), matanya akan membuat hati bersimpuh untuk mengagungkan kebesaran Allah dan fikirannya akan menemukan kebenaran hakiki untuk membangun peradaban yang rahmatan lil ‘aalamiin. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. al-An’am : 103).
Beruntung bila ilmuan mampu memperbanyak menggunakan matanya untuk melihat keagungan Allah dan menemukan kebenaran. Alangkah merugi bila “mengaku ilmuan (ulama)” dengan deretan titel (raihan atau pemberian) atau sebutan lainnya, namun tak mampu menggunakan matanya untuk mencari, menemukan, dan menyebarkan kebenaran. Melalui mata, hidup merupakan rangkaian upaya mengenal Allah dan Rasul-Nya, sedangkan mati merupakan jalan bertemu Allah dan Rasul-Nya. Demikian mata yang mampu melihat kebesar-an Allah dan beradab pada Rasulullah.
Kedua, Telinga ; organ yang seyogyanya dimiliki pada sosok pemimpin yang senantiasa memanfaatkan telinganya untuk mendengar keluh kesah, derita, ketidakadilan, harapan, informasi, atau nasehat orang lain. Kedua telinganya harus digunakan untuk mendengar tangisan dan tawa, pro dan kontra, si miskin dan si kaya, atau varian sejenis secara berimbang sebagaimana seimbangnya posisi kedua telinganya (kanan dan kiri). Semua yang didengar diolah oleh akal dan mendengar pertimbangan pemilik “mata” (ilmuan) yang amanah. Demikian Allah posisikan telinga yang berada di antara akal dan mata. Posisi dan fungsinya bukan sekedar asesoris, tapi memiliki tujuan mulia.
Bila kedua telinga yang berada posisi seimbang tidak mampu dipahami, maka apa yang didengar bernilai subyektif. Hanya mendengarkan informasi sepihak yang menguntungkan diri, berita kehebatan dan kelebihan diri, atau lainnya. Akibatnya, tumbuh subur para “penjilat” yang akan memberi informasi sepihak dan menyenangkan. Padahal, realitanya justeru sebaliknya. Apatahlagi bila informasi dan berita yang didengar tak dipertimbangkan oleh “mata” (ilmu dan ilmuan), serta diolah akal sehat untuk memperoleh kebenaran, maka telinga akan digunakan iblis untuk menginformasikan sesuatu yang berakibat malapetaka pada diri dan sesama. Padahal, Allah telah mengingatkan “telinga” melalui firman-Nya : “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata” (QS. an-Nur : 12).
Demikian makna telinga bagi manusia. Meski jelas apa yang difirmankan-Nya, namun manusia acapkali mengingkari kebenaran ayat-ayat Allah. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya :“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya, maka gembirakanlah dia dengan azab yang pedih” (QS. Luqman : 7).
Bagi pemilik “telinga” yang penuh asma Allah, semua suara nasehat merupakan kalam Allah. Semua didengar dengan bijaksana. Telinganya bagai telinga nabi Sulaiman yang peka terhadap semua persoalan rakyatnya. Jangankan suara manusia, suara dan rintihan semut pun didengarnya. Beda dengan “telinga” yang penuh kotoran. Ia hanya mendengar kata “sekitar lingkar pinggangnya” dan tak mau mendengar kata mereka yang di luar lingkaran, apatahlagi kata “seberang laut” kepentingan. Telinga yang demikian bukan telinga seorang pemimpin, tapi telinga yang tersumbat oleh kotoran dan keinginan untuk memangsa sesama.
Ketiga, Mulut ; gunakan mulut secara bijak untuk menyampai-kan kebenaran. Namun, pepatah mengingatkan “lidah tak bertulang”. Bila tidak hati-hati, mulut hanya akan digunakan untuk menyebar kebencian. Di era digital, mulut diambil alih oleh tulisan (jurnalistik, IG, WA, dan sejenis) yang disebarluas-kan melalui media sosial. Segelintirnya, tampilan digunakan untuk menunjukkan kesombongan, kemunafikan, atau kritik pedas tanpa solusi. Semua yang diteriakkan hanya berupa kesalahan sesama. Padahal, dirinya justeru merupakan pelaku kesalahan serupa. Mulut yang demikian biasanya hanya digunakan provokator dan kaum pemilik peradaban rendah. Dengan kepiawaian bersilat lidah, mulut mampu memecah keheningan, kedamaian, dan meruntuhkan bangunan peradaban. Padahal, ia justeru tak mampu membangun peradaban sedikit jua. Teriakan-teriakan yang dilakukan hanya untuk sekedar mencari perhatian bahwa dirinya ada dan kepentingan yang mengitarinya. Sebab, selama ini mereka “tak pernah ada dan sanggup membuat sesuatu menjadi ada” atau akibat tak mampu memperoleh apa yang diinginkan. Adanya hanya sebatas benalu atau duri yang menusuk peradaban. Anehnya, kelompok ini acapkali dipercaya, dipelihara, dan memperoleh perhatian khusus. Padahal, secara jelas Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : “Seorang muslim adalah yang keselamatan kaum muslimin terjaga dari lisan dan perbuatannya” (HR. Bukhari).
Banyak berbicara selain untuk hal yang terkait dengan zikir kepada Allah, akan membuka peluang terjerumusnya manusia ke dalam urusan yang tidak berfaedah. Di antara bahan pembicaraan yang mendorong seseorang banyak bicara adalah pembicaraan yang tidak penting, berpeluang menjadi kebiasaan menyebar fitnah dan buruk sangka.
Sungguh benar bila dikatakan “semua terjadi sesuai frekuensinya”. Semua hadir pada komunitas selevel atau sejejaringan. Manusia yang percaya pada pemilik peradaban rendah tentu “memiliki frekuensi yang sama” dengan manusia “penyiarnya” atau mitra sekitarnya yang selevel. Tak mungkin pemilik kebijakan (kebenaran) mau menerima informasi dari mulut pelaku kesalahan. Tapi, hanya pelaku kesalahan yang mendengarkan penyebar kesalahan. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan” (QS. al-An’am : 116).
Logika sederhana, siaran radio yang hanya “gemerisik” akan diterima oleh manusia tuli sebagai sebuah dendangan lagu merdu dan enak didengar. Ia akan menari-nari gembira, seakan lagu berirama merdu. Ketulian telinganya membuat gemerisik suara justeru bagai keindahan lagu. Padahal, bagi pemilik telinga normal, apa yang didengar hanya gemerisik suara siaran radio rusak yang memekakkan telinga.
Demikian pilihan peradaban jahiliyah yang diambil manusia modern. Semua berselindung melalui legalitas “hak asasi, keterbukaan informasi, dan kebebasan berpendapat atau berekspresi”. Bila yang disampaikan berupa kebenaran, maka berarti akan bernilai dakwah dan kebajikan. Namun, bila yang disampaikan berupa sesuatu yang salah, maka berarti bernilai fitnah, kebohongan, dan berbuah petaka. Anehnya, sisi kebenaran tak lagi menjadi perhatian dan tak pernah disampaikan secara berimbang. Justeru sisi berita yang salah, berisi fitnah lebih diminati dan dilindungi dengan dalih “kebebasan berekspresi”. Padahal, Rasulullah SAW telah mengingatkan umat melalui sabdanya : “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat” (HR. Muslim).
Bahkan, pada hadis yang lain, Rasulullah bersabda : “Maukah kalian aku beri tahu apa dosa besar yang paling besar ?”. Beliau mengulang tiga kali. Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah bersabda, “Yaitu menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. “Saat itu beliau bersandar lalu duduk dan melanjutkan, “Juga, kesaksian palsu, kesaksian palsu, kesaksian palsu.” Begitu Rasulullah mengulang-ulang sampai kami mengatakan, andai beliau menghentikannya (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu jelas apa yang disabdakan Rasulullah SAW, namun segelintir manusia tak menghiraukan dan tak menjadikannya sebagai pedoman. Firman Allah seakan sebatas bacaan dan sabda Rasulullah seakan dinafikan. Semua cukup bila ayat-ayat-Nya sekedar dibaca dan sabda Rasulullah dipoles melalui ungkapan lisan (gegap gempita) tanpa makna dan berbekas pada prilaku. Sementara mulut tetap lepas tanpa kontrol menyebar fitnah dan kata-kata keji tanpa peradaban. Allah SWT berfirman : “Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling dari padanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka ; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya” (QS. al-Kahfi : 57).
Bila dilihat dari aspek kotoran mata, telinga, dan mulut, maka bau yang menyengat di antara ketiganya muncul justeru dari mulut. Meski bisa dijelaskan penyebabnya melalui pendekatan medis, namun pendekatan agama menjelaskan karena bahaya yang ditimbulkan oleh mulut dan variannya di era modern (media sosial). Padahal, Allah mengingatkan manusia melalui firman-Nya : “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf : 18).
Semua tercatat dalam pengawasan malaikat. Tak ada yang bisa mengelak. Namun, banyak pula yang seakan tak peduli, hanya dorongan pundi-pundi, “titipan”, atau sakit hati karena keinginan yang tak dapat diraih. Mulut manis dengan senyuman, namun berisi kotoran yang dikeluarkan. Demikian Allah SWT dan Rasulullah menjelaskan pada manusia secara terang. Bila mata, telinga, dan mulut bersama menuju cinta Allah (taqwa), maka keselamatan seluruh alam semesta akan diraih. Namun, bila ketiga organ tersebut digunakan pada jalan kesalahan (fujur), maka akan terjadi kehancuran. Padahal, mata dan telinga diberi berpasangan agar obyektif dan bijak dalam bekerja. Sementara mulut hanya tunggal, namun bahayanya mampu menghancurkan peradaban.
Meski demikian jelas ayat al-Quran dihadirkan dan alam semesta dihamparkan, namun seakan tak menjadikan manusia bergeming. Mungkin manusia tak lagi takut pada ancaman Allah, atau manusia telah mencari tuhan lain atau telah mentuhankan dirinya sendiri. Menganggap diri paling benar, paling hebat, paling pintar, paling shaleh, paling pantas, paling berjasa, atau varian sejenisnya. Meski ayat dan hadis demikian nyata, namun seakan semua tak ada artinya. Demikian jelas apa yang firman Allah dan sabda Rasulullah, namun kenyataannya telah didustakan. Mungkin mereka kaum yang dimaksud Allah dalam QS. al-Baqarah : 8. Lalu, bagaimana kualitas mata, telinga, dan mulut yang kita miliki. Hanya hati setiap diri yang bisa menjawab dan Allah SWT Yang Maha Tahu semua misteri yang tersembunyi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 15 Mei 2023
84 Views PremiumAug 27, 2022
Selain bisa berubah menjadi ular, tongkat Nabi Musa juga dapat membelah lautan. Tentu atas kehendak Allah SWT. Mukjizat Nabi Musa ini terjadi saat dikejar oleh pasukan Firaun.
Nabi Musa mendapat perintah dari Allah SWT untuk keluar meninggalkan Mesir bersama Bani Israil. Mendengar kabar tersebut, Fir’aun kemudian mengutus orang-orang di daerah kekuasaannya yang bertugas untuk mengumpulkan prajurit-prajuritnya.
Saat itu, rombongan Nabi Musa sangat kecil dibandingkan dengan balatentara Firaun. Setelah pengejaran, Fir’aun dan bala tentaranya akhirnya dapat menyusul rombongan Musa pada waktu matahari terbit.
Pengikut-pengikut Nabi Musa mulai takut dan gusar. Namun, mereka ditenangkan oleh Nabi Musa bahwasanya Allah SWT bersama Nabi Musa dan ia telah mendapat petunjuk dari-Nya.
Allah SWT lantas memberi wahyu kepada Musa, “Pukullah laut itu dengan tongkatmu.” Nabi Musa pun segera memukulkan tongkat yang dibawanya ke lautan.
Seketika laut pecah terbelah menjadi 12 bagian. Tiap bagiannya seperti gunung yang besar, kanan-kirinya menjadi jalan yang bisa dilewati serta tidak basah. Kemudian Allah menyelamatkan Nabi Musa beserta kaumnya keluar melintasi laut.
Setelah pengikut Nabi Musa paling akhir melintas keluar dari laut, barulah barisan awal pasukan Firaun memasuki laut. Fir’aun dan pasukannya segera memasuki belahan laut Merah itu, ketika seluruh pasukannya telah masuk dan berada di tengah-tengah lautan, Allah segera memerintahkan Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya kembali ke laut sehingga laut yang terbelah segera kembali seperti sedia kala.
Dengan demikian, tak ada seorang pun dari rombongan Firaun dapat menyelamatkan diri. Mereka hancur binasa ditelan lautan beserta kesombongan dan kekafiran mereka.
Allah berfirman, “Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat) dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS Asy-Syu’ara: 65-67).
Itulah kisah mukjizat tongkat Nabi Musa saat melawan Firaun. Wallahu’alam.
Sudah pastinya ramai di antara kita yang menghafal nama-nama malaikat dan tugasan mereka. Seperti yang kita tahu, malaikat Jibril ditugaskan untuk menyampaikan wahyu Allah S.W.T..
9 lagi malaikat yang wajib diketahui adalah Mikail, Israfil, Izrail, Mungkar, Nakir, Ridhwan, Malik, Raqib dan Atid.
Saiz malaikat Jibril adalah yang tersangat besar.
Kali pertama Nabi Muhammad S.A.W pertama kali bertemu dengan malaikat Jibril adalah ketika Jibril menurunkan wahyu pertama di Gua Hira yang terletak di Bukit Jabal al-Nour.
BESARKAN TEKS A- A+
Ketika Nabi Muhammad S.A.W melihat ke atas, baginda berkata bahawa Jibril sedang duduk di atas kursinya dan apabila baginda menoleh ke kiri, baginda dapat melihat Jibril dan apabila menoleh ke kanan pula, baginda masih dapat melihat Jibril.
Ini menggambarkan betapa besarnya malaikat Jibril yang memenuhi pandangan di seluruh langit Bumi. Persoalannya adakah ketika ini Jibril membuka sayapnya? Menurut para ulama, Jibril membuka sayapnya pada ketika itu.
Sepakat para ulama adalah Jibril mempunyai 600 sayap, 300 di bahagian kiri dan 300 lagi di bahagian kanan. Dan pada ketika Nabi Muhammad S.A.W melihat Jibril menutupi seluruh langit Bumi, Jibril hanya membuka 1 sayap kanan dan 1 sayap kiri sahaja.
Dengan 299 sayap kanan dan 299 sayap kiri disembunyikan Jibril pun sudah cukup untuk menutup seluruh alam dunia.
Dengan izin Allah, Nabi Muhammad S.A.W dapat melihat malaikat Jibril untuk kali kedua. Dan kali ini, baginda dapat melihat diri Jibril yang sebenar-benarnya.
Kali ini, ia berlaku di Sidratul Muntaha, adalah sebuah pohon besar yang berada di langit ketujuh. Ia adalah pemisah dan sebuah batas di mana makhluk tidak dapat sampai.
Ia merupakan tujuan akhir dari perjalanan Isra' Mi'raj oleh Rasulullah S.A.W.. Baginda dapat melihat rupa sebenar Jibril di sini adalah kerana ia tersangat luas.
Ketika sampai di Sidratul Muntaha, Jibril pun menunjukkan dirinya yang sebenar, beserta dengan sayapnya yang sangat banyak. Ketika melihat malaikat Jibril membuka kesemua 600 sayapnya, Rasulullah S.A.W lantas berkata:
"Ma A'zoma Kholkuka ya Jibril" yang bermaksud "Aku kagum dengan ciptaanmu wahai Jibril".
Mendengar kata-kata baginda, Jibril menjawab: "La Takulu haza Muhammad" bermaksud "Jangan berkata begitu wahai Muhammad".
Rasullullah S.A.W kemudiannya bertanya mengapa dan Jibril menjawab: "Ada makhluk yang lebih hebat daripada aku".
Dan apa yang dimaksudkan oleh malaikat Jibril, yang lebih hebat daripada dirinya adalah malaikat yang ditugaskan untuk meniup sangkakala iaitu malaikat Israfil.
Lantas Jibril menceritakan bahawa Israfil adalah sama sepertinya memiliki sayap tetapi lebih banyak iaitu 600 sayap kanan dan 600 sayap kiri.
Jibril berkata bahawa jika dia membuka satu sayap kanan dan satu sayap kiri mampu menutup alam semesta, namun jika membuka kesemua 600 sayapnya, Jibril masih boleh berteduh di bawah satu sayap malaikat Israfil.
Mendengar keagungan Allah S.W.T ini, Rasullullah S.A.W pun berkata: "Aku kagum dengan ciptaan malaikat Israfil". Dan sekali lagi malaikat Jibril berkata "Jangan berkata begitu", kerana ada yang lebih hebat daripada malaikat Israfil.
Siapa yang lebih dahsyat daripada kedua-dua malaikat hebat Allah S.W.T ini?
Hal ini diterangkan dalam ayat al-Haqqah ayat 17:
وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَة
Maksud: "Sedang malaikat-malaikat (ditempatkan) mengawal segala penjurunya, dan Arasy Tuhanmu pada saat itu dipikul oleh lapan malaikat di atas malaikat-malaikat yang mengawal itu,".
Nama malaikat-malaikat ini adalah malaikat Hamalat al-'Arsy yang mana ditugaskan untuk memikul Arasy, makhluk ciptaan Allah S.W.T yang terbesar.
Jadi, betapa hebatnya malaikat Hamalat al-'Arsy ini?
Lantas Jibril berkata: "Jika aku membuka kesemua 600 sayapku, aku masih boleh berteduh di bawah satu sayap Israfil. Dan Israfil pula jika membuka kesemua 1200 sayapnya, dia masih boleh berteduh di bawah satu sayap malaikat Hamalat al-'Arsy,".
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah S.A.W bersabda:
أذن لي أن أحدث عن ملك من ملائكة الله من حملة العرش إن ما بين شحمة أذنه إلى عاتقه مسيرة سبعمائة عام
Maksud: “Aku telah diizinkan untuk menceritakan tentang malaikat dari malaikatnya Allah yang memikul Arsy, sungguh jarak antara telinga dan bahunya adalah sepanjang perjalanan 700 tahun,".
Dan dikatakan pula dalam hadis bahawa malaikat Hamalat al-'Arsy ini memiliki 1200 sayap kanan dan 1200 sayap kiri, di mana 1 sayapnya setara dengan 1200 sayap malaikat Israfil.
Terdapat banyak pendapat yang menyatakan bahawa Hamalat al-'Arsy adalah malaikat yang tertinggi dan terhebat kerana apa yang dipukul mereka di atas kepala adalah Arasy, makhluk Allah S.W.T yang paling besar.
Disepakati oleh para ulama bahawa makhluk terbesar dan tertinggi yang diciptakan oleh Allah S.W.T adalah Arasy.
Jika Arasy ciptaan Allah S.W.T ini perlu dipikul oleh 8 malaikat Hamalat al-'Arsy yang tidak terbayang besarnya, maka kita tidak mampu memikirkan dengan akal fikiran cetek kita betapa besarnya Arasy Allah.
Dan di Arasy inilah merupakan tempat Allah S.W.T bersemayam, seperti dalam surah Yunus ayat 3:
اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِىۡ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ فِىۡ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسۡتَوٰى عَلَى الۡعَرۡشِ يُدَبِّرُ الۡاَمۡرَؕ مَا مِنۡ شَفِيۡعٍ اِلَّا مِنۡۢ بَعۡدِ اِذۡنِهٖ ؕ ذٰ لِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمۡ فَاعۡبُدُوۡهُ ؕ اَفَلَا تَذَكَّرُوۡنَ
Maksud: "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menjadikan langit dan bumi dalam enam masa kemudian Ia bersemayam di atas Arasy mentadbirkan segala urusan. Tidak ada sesiapa pun yang dapat memberi syafaat melainkan sesudah diizinkanNya. (Yang bersifat demikian) itulah Allah, Tuhan (yang memelihara dan mentadbirkan keadaan) kamu; maka tunduklah dan taatlah kamu kepada perintahNya; patutkah kamu - setelah mengetahui kenyataan yang tersebut tidak mahu mengingatiNya?".
Dengan kebesaran Allah S.W.T mencipta makhluk-Nya, kita seharusnya sedar bahawa betapa kerdilnya di dunia ini sebagai hamba.